LENSAKITA.ID-BAUBAU. Bupati Konawe Utara, H. Ruksamin menghadir upacara peringatan Hari Jadi Bau-Bau ke-482 dan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Bau-Bau ke-22 sebagai daerah otonom, bertempat di pelataran Kantor Walikota Bau-Bau.
Usai mengikuti upacara, H. Ruksamin kemudian lanjut mengikuti acara Kande-Kandea dalam rangka Haroa penganugerahan gelar adat dan syukuran HUT Bau-Bau ke-482 dan HUT Kota Bau-Bau ke-22.
Dalam kesempatan tersebut, juga turut hadir Pj Gubernur Sultra Andap Budhi Revianto, Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Shaleh, Pj Wali Kota BauBau Muh. Rasman Manafi, Pj Bupati Buton La Ode Mustari.
Diacara HUT Bau-Bau ke-482 dan HUT Kota Bau-Bau ke-22, Ramai riuh masyarakat mengenakan kostum budaya khas Buton sebagai ekspresi memeriahkan HUT BauBau ke 482. Mereka menantikan dimulainya acara adat Kande-Kandea sebagai rangakaian HUT BauBau.
H. Ruksamin memasuki tenda tempat acara budaya Kande-Kandea dan dipersilahkan duduk tepat di depan talam yang berisi aneka makanan khas Buton dan hidangan makanan lainnya. Setiap talam yang dihidangkan dijaga oleh para wanita cantik.
Usai dilaksanakan ritual pembukaan Kande-Kandea, para tamu kemudian dipersilahkan menikmati sajian makanan yang telah disediakan.
Bupati Konawe Utara dua periode ini juga turut menikmati hidangan makanan yang disajikan. Ia dilayani dua perempuan yang diamanahkan menjaga talang.
“Saya datang jauh-jauh dari Konawe Utara, dan alhamndulillah turut memeriahkan acara Kande-Kandea ini. Makananya sangat nikmat,” kata H. Ruksamin saat memberikan testimoni.
Sebagai informasi, tradisi Kande-Kandea merupakan tradisi makan bersama yang umum ditemukan pada masyarakat Buton. Di Kabupaten Buton, tiga etnis yang masih secara rutin melaksanakan tradisi ini adalah etnis Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio. Masing-masing etnis memberikan penamaan yang berbeda atas tradisi ini, seperti Kafoma-Foma’a bagi etnis Muna (Pancana), Maataa bagi etnis Cia-Cia, dan Peka Kande-Kandea bagi etnis Wolio.
Secara umum, tradisi Kande-Kandea melibatkan unsur hiburan dan ritual, serta terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya di dalamnya. Pada zaman dulu, tradisi ini menjadi cara untuk menyambut pulangnya para laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Para gadis bersiap dengan makanan untuk menyuapkannya ke para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan atas perjuangan mereka.
Acara Kande-Kandea juga menjadi tempat pertemuan muda-mudi, dimana remaja putra dan putri dapat saling pandang. Kini, tradisi Kande-Kandea masih hidup dan menjadi simbol kesatuan sosial dan mistis masyarakat Buton.
Namun, tradisi ini juga diatur oleh dua kekuatan yang berbeda, yaitu negara dan adat. Bagi masyarakat adat Baruta Analalaki, acara Kande-Kandea dilaksanakan secara sederhana, bersifat ritual, dan dilaksanakan secara tertutup di rumah adatnya.
Tradisi Kande-Kandea kabolosi yang dilakukan oleh masyarakat adat Baruta Analalaki hanya dapat dihadiri oleh masyarakat adat dari beberapa desa, yaitu Desa Tolandona, Baruta Analalaki, Baruta, dan Tampuna. Konon, mereka merupakan kelompok masyarakat bangsawan Buton yang berada di wilayah pesisir.
Konsep ritual Kande-Kandea kabolosi adalah masyarakat mempersembahkan makanan kepada arwah leluhur dan dimakan secara bersama-sama, seperti slametan pada masyarakat Jawa. Tradisi Kande-Kandea kabolosi meliputi lima rangkaian ritual yaitu ziarah Fompua dan Dampu, powintahano lima, Kande-Kandeano Fompu’a, Kande-Kandeano Kabolosi, dan Kadandio.
Meskipun diatur oleh dua kekuatan yang berbeda, tradisi Kande-Kandea masih menjadi warisan budaya yang penting bagi masyarakat Buton. Tradisi ini tidak hanya melibatkan makanan, tetapi juga memiliki nilai-nilai sosial, politik, dan mistis yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Buton.
Laporan : Lensakita.id