LENSAKITA.ID-JAKARTA. Jaringan Pemerhati Investasi Pertambangan (J-PIP) kembali menyoroti kasus dugaan ilegal mining PT. Babarina Putra Sulung (BPS), di Desa Muara Lapaopao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pasalnya, pasca pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilakukan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia pada tahun 2022, perusahaan tersebut diduga kembali melakukan kegiatan penambangan di wilayah tersebut tanpa mengantongi izin dari instansi terkait.
Inkonsistensi aparat penegak hukum dalam penindakan dugaan ilegal mining PT. BPS. itu memantik Presidium J-PIP, Habrianto untuk angkat bicara.
Ketua J-PPI Habrianto menjelaskan bahwa, sebelumnya PT. BPS mendapat IUP dengan komoditas Peridotit (bantuan) namun faktanya perusahaan itu melakukan kegiatan penambangan biji nickel hinga penjualan
Selain itu, diduga alasan pencabutan IUP PT. BPS karena seluruh izin yang dikantongi itu masuk dalam kawasan hutan konservasi (areal Hutan Lindung) dan areal kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang ditelah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebagai hutan konservasi (Moratorium).
“Perusahaan ini kami nilai sangat kebal hukum, sebab telah berani mengkonversi IUP batuan untuk nambang nickel, selain itu setelah izin dicabut mereka (PT. BPS) juga kembali melakukan kegiatan di wilayah tersebut tanpa mengantongi izin, baik Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) ataupun Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH),” ucapnya, Sabtu (22/07/23).
Lebih lanjut, Habri menambahkan bahwa kabar beraktivitasnya kembali PT. BPS setelah pencabutan IUP, itu terjadi sejak awal 2023 tepatnya 15 April 2023 terlihat sejumlah alat berat berupa excavator dan beberapa dump truk melakukan pengangkutan ore nickel di wilayah tesebut.
“Dugaan ilegal mining tersebut telah menambah deretan dugaan kasus ilegal mining di Sultra khususnya di Kab. Kolaka, jika hal ini dibiarkan maka boleh dikata bahwa institusi penegak hukum turut berkontribusi dalam kerusakan lingkungan dan becana alam di bumi anoa,” sambungnya.
Hal senadah disampaikan, Hendro Nilopo selaku Dewan Pendiri J-PIP, ia menegaskan bahwa eksistensi PT. BPS harus segera diatensi serius oleh aparat penegak hukum maupun instansi terkait lainnya, karena hal tersebut telah melabrak aturan maupun regulasi yang telah disusun sedemikian rupa oleh pemerintah.
“PT. BPS ini sudah lama menuai sorotan, tetapi sampai sekarang masih bebas berkegiatan bahkan semakin parah,” pungkasnya.
Ia menambahkan, bahwa hal itu akibat lemahnya pengawasan dan penindakan dari stake holder. Sehingga membuat PT. Babarina Putra Sulung (BPS) semakin merajalela di tanah Mekongga, Kabupaten Kolaka.
“PT. Babarina Putra Sulung ini kan IUP Batuan, bahkan sudah di cabut oleh BKPM. Tetapi eksistensinya masih tetap hidup sampai sekarang. Apakah ini yang namanya kebal hukum?,” imbuhnya.
Oleh karena itu, mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta itu mendesak agar Aparat Penegak Hukum segera mengambil tindakan tegas terhadap PT. Babarina Putra Sulung (BPS) yang sampai sekarang diduga masih aktif melakukan kegiatan pertambangan di Kabupaten Kolaka.
“APH tidak boleh kalah dengan orang-orang seperti Dirut PT. BPS, sudah saatnya penegak hukum melakukan penindakan,” tutup Habri.
Laporan : Lensakita.id