LENSAKITA.ID-KENDARI. Ketua Komite Nasional Pemuda Demokrat (KNPD) Kota Kendari Moh. Syahputra Rahman Menyesalkan atas Penangkapan Aktivis Mahasiswa baru-baru ini yang terjadi di Kabupaten Buton Utara.
Hal ini terjadi disebabkan adanya laporan dari Gubernur Sultra, Ali Mazi, melalui ajudannya yang bernama Ulil Amri. Laporan tersebut ditenggarai karena adanya rasa ketersinggungan akan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Baada Yung Hum Marasa (24). Aksi tersebut memperotes jalan rusak di Kabupaten Buton Utara.
Dalam aksi tersebut, para mahasiswa dan masyarakat yang berunjuk rasa membuat replika nisan, yang bertuliskan nama Gubernur Ali Mazi. Hal ini dianggap sebagai perbuatan pencemaran nama baik.
Pencemaran nama baik itu tercatat dalam laporan polisi bernomor LP/B/XII/2021/SPKT/Polda Sultra, tanggal 31 Desember 2021.
Hal ini Menjadi Sorotan Publik, Tak terkecuali oleh salah satu Tokoh Pemuda di Sulawesi Tenggara.Moh.Syahputra Rahman.
“Dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 Ayat 2 dinyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Pasal ini menjelaskan negara Indonesia adalah negara yang dijalankan berdasarkan sistem demokrasi,”kata Moh. Syahputra pada awak media, kamis (20/01/2022).
Ia juga mengungkapkan jika Demokrasi secara bahasa berasal dari kata Demos yang artinya rakyat dan Kratein yang berarti memerintah. Artinya Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan dengan pengertian kekuasaan berada di tangan rakyat.
“Sistem pemerintahan yang dilaksanakan dengan prinsip demokrasi, itu seharusnya menjamin setiap masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya, atau Freedom of Speech, kebebasan berpendapat yang juga merupakan Hak Asasi Manusia”.bebernya.
Menurut Kader HMI Cabang Makassar ini, kasus penangkapan Baada Yung Hum Marasa menunjukkan, kebebasan berpendapat yang telah dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945, telah mencederai nilai-nilai Konstitusi dan prinsip penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis. Hal ini juga akan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan turunnya partisipasi publik dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Apalagi yang kita ketahui, apa yang disampaikan oleh Baada Yung Hum Marasa adalah berdasarkan Fakta yang terjadi. Bahwa masih banyak jalan di provinsi Sulawesi Tenggara yang rusak dan perlu di perbaiki,”pungkasnya.
Selain itu juga ia mengatakan, dengan hadirnya kasus tersebut menunjukkan terjadinya kemunduran demokrasi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kebebasan merupakan salah satu pilar penopang demokrasi. Kebebasan menjamin semua orang bisa mengkritik pemerintah, sekaligus menyuarakan pikiran tanpa harus takut untuk dikriminalisasi. Prinsip ini mendapuk kebebasan sebagai prasyarat mutlak supaya rakyat dapat memainkan peran terbaiknya dalam sistem demokrasi secara cerdas dan bertanggung jawab.
“Gubernur Sultra seharusnya bisa menerima setiap masukkan atau kritik yang disampaikan oleh masyarakat,”imbuhnya.
“Bukan justru menutup telinga dan tidak memperhatikan subtansi dari kritik yang disampaikan. Padahal kritik yang disampaikan bersifat konstruktif. Apalagi berkaitan dengan konstruksi infrastruktur pembangunan jalan untuk masyarakat umum,”tambahnya.
Ia juga berharap agar kejadian seperti ini, bisa diselesaikan dengan cara menjawab tuntutan masyarakat ataupun memberikan pledoi perihal ketidakmampuan pemerintah daerah untuk merealisasikan apa yang menjadi tuntutan rakyat!.Bukan dengan cara melakuakan kriminalisasi, tentu ini akan mempengaruhi psikologi masyarakat sultra,dalam hal menyampaikan pendapat di muka umum.
Selain itu kata Moh.Syahputra, terkait persoalan infrastruktur di Sultra, itu sudah menjadi tanggung jawab Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra. Jangan hanya melihat kritik sebagai pencemaran nama baik yang menyerang pribadi atau subyek Ali Mazi, karna bagaimana pun sebagai pejabat publik, kritik itu sudah menjadi hal yang biasa di negara demokrasi, apa lagi untuk seorang gubernur yang masih menjabat dan mendapatkan fasilitas privilege dari negara , hal itu menjadi sesuatu yang sulit untuk di pisahkan dan akan selalu melekat selama priode masa jabatannya.
“Dan tentu kita semua berharap agar persoalan seperti ini kedepannya bisa lebih mengutamakan asas Ultimum remedium yang mengatakan hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum, dan mengedepankan restoratif justice dalam penyelesaian perkara ,sebagaimana instruksi kapolri, melalui surat edaran nomor SE/2/II/2021 dalam upaya penanganan perkara UU(ITE)”. Tutup Alumni Smansa Kendari ini.
Laporan – Tim Lensakita.id