LENSAKITA.ID-KOLAKA. Beberapa hari ini media sosial diramaikan dengan pemberitaan terkait karya ilmiah berupa Skripsi yang di tulis oleh Jumardi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar tahun 2016, yang berkuliah di Fakultas Ilmu Keguruan Dan Pendidikan, Jurusan Ilmu Sosiologi Ilmu Budaya. Dengan judul skripsi“Asumsi Masyarakat Bugis Terhadap Ideologi Masyakarat Tolaki Di Kolaka Utara”yang dinilai merendahkan dan mendiskreditkan Suku Tolaki.
Penggiat Budaya Tolaki sekaligus salah satu Pendiri Organisasi Tamalaki Wonua Mekongga (TWM) Suharman Samudra, S.H menyampaikan bahwa Skripsi tersebut sangat subjektif dan terkesan tidak memenuhi kaidah-kaidah karya ilmiah.
Dia juga menjelaskan bahwa, dalam menulis karya tulis ilmiah, seseorang memiliki kebebasan untuk menulis apa yang ditemukannya dalam penelitian. Akan tetapi tetap harus mengikuti aturan yang berlaku dengan tujuan hasil tulisan bisa dipertanggung jawabkan kebenaran dan dampaknya.
Dalam skripsi tersebut, kata Suharman, penulis dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa “Masyarakat Bugis berasumsi jika suku Tolaki dulunya adalah budak Suku Bugis, Penggembala Kerbau, Miskin, Darah Kebangsawanan Suku Bugis lebih tinggi dari pada Suku Tolaki”. Selain itu, “orang Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki karena berasumsi jika menikah dengan suku Tolaki rejekinya kurang baik dan bernasib sial, sehingga sebagian besar orang Bugis membatasi diri dalam bentuk hubungan yang sakral seperti dalam bentuk pernikahan,”
“Tentu kita semua warga Sultra khususnya sangat menyayangkan kejadian tersebut. Penulis dan dosen pembimbing yang merupakan insan akademis yang harusnya mampu berpikir secara komprehensif integral dan logis serta mampu menganalis dampak yang akan ditimbulkan kemudian ” kata pria yang bertugas di Pengadilan Agama Kolaka tersebut, kepada media Lensakita.id, Rabu (13/04/2023).
Beliau juga menambahkan, dari sisi sejarah belum ada karya tulisan ilmiah atau literatur-literatur ilmiah yang menuliskan orang Bugis menjadikan Budak orang Tolaki, malah sebaliknya dalam beberapa catatan sejarah pada sekitar abad XV-XVI kerajaan-kerajaan besar di kawasan jazirah Sulawesi Selatan saling memperluas wilayah kekuasaan masing-masing.
“Kerajaan-kerajaan besar tersebut melakukan usaha perluasan wilayah dengan cara peperangan dan penaklukan, dan disinilah terjadi atau yang memicu perbudakan bahkan perdagangan budak oleh Suku Bugis itu sendiri, bahkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811–1816) Thomas Stamford Raffles pernah mencatat populasi budak Bugis paling tinggi di Batavia pada saat itu,” ujarnya.
Tetapi menurut Suharman, semua itu adalah sejarah kelam bangsa Indonesia bahkan seluruh Dunia yang tidak boleh terjadi kembali sampai kapan pun. Dia juga mengatakan bahwa Suku Tolaki itu adalah Suku yang sangat ramah dan terbuka kepada siapa saja yang datang ke wilayahnya, dalam catatan sejarah Diaspora orang Bugis ke jazirah Tenggara untuk daerah Kolaka ( Mekongga ) dimulai pada abad ke-17 yang disebabkan beberapa faktor, yakni situasi peperangan yang masih berkecamuk, faktor ekonomi, dan mencari kehidupan yang lebih baik.
Juga dalam catatan sejarah masuknya orang-orang Bugis di Jazirah Tenggara melalui jalur perdagangan, disebutkan terjadi interaksi sosial yang erat antara pedagang bugis dan masyarakat Tolaki, dan juga melalui jalur penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Muballigh Bugis dan Luwu, seperti contohnya yaitu Opu Daeng Massaro yang datang ke Mekongga dalam rangka mengajarkan dasar-dasar dan pandangan islam sekaligus mengislamkan Bokeo Laduma atas perintah Datu Luwu, dalam perjalanannya juga banyak terjadi perkawinan antara orang Bugis dan Tolaki.
Menurut pria asal Kolaka ini, selama berabad-abad harmonisasi Kerajaan-Kerajaan yang ada di jazirah selatan dengan Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga terjalin begitu indah, bahkan dalam beberapa peristiwa Datu Luwu ke-XVIII dan ke- XX Alimuddin Settiaraja, bergelar Petta Matinroé ri Tompoq Tikkaq ( masa pemerintahan 1663-1704 ), meminta bantuan kepada Raja Mekongga ke-VII yang saat itu dipimpin Teporambe bergelar Sangia Niluo untuk membantunya memerangi Kerajaan Suppa, dan berangkatlah putera Bokeo Teporambe tersebut bersama 40 orang Tamalaki pilihan ke Luwu, dan ikut andil membantu peperangan, dan setelah tiba di Tanah Mekongga, Laduma diberikan gelar Sangia Nibandera ( Dewa yang membawa Bendera ).
Begitupun juga pada masa pemerintahan Arungpone ( Raja ) Bone ke-XII yaitu La Tenri Pale To Akkapeang Matinroe Ri Tallo ( masa pemerintahan 1661-1625 ), pernah minta bantuan ke Kerajaan Konawe berperang melawan Kerajaan Luwu dalam memperebutkan wilayah Ponre pada tahun 1621 dengan bantuan 740 pasukan elit Konawe dibawah pimpinan Inowehi II, dan beliau mendapatkan gelar Pakandre Ate ( Pemakan Hati ), dikarenakan apabila berhasil membunuh musuhnya, maka dia akan memakan hatinya.
Demikian betapa luar biasanya hubungan kekerabatan masa lalu antara orang Bugis dan orang Tolaki, sehingga sangat disayangkan terjadi peristiwa yang sangat melukai hati masyarakat Tolaki, dan sangat berpotensi memecah belah persatuan sesama anak bangsa.
“Harapan saya dan juga seluruh masyarakat Adat Tolaki semoga Aparat Penegak Hukum dapat memproses kasus ini seadil-adilnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku” tutupnya.
.
Laporan : Lensakita.id